Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pemerintah Tidak Lagi Mendengarkan Petani

KEBIJAKAN PERTANIAN

Secara mengejutkan, Kementerian Pertanian membuat Peraturan Menteri Pertanian tentang Pedoman Perizinan Usaha Budidaya Tanaman Pangan.

Peraturan ini diharapkan bisa menjadi pegangan swasta yang hendak berinvestasi di bidang budidaya tanaman pangan, baik pada proses produksi maupun penanganan pascapanen.

Peluang investasi pada proses produksi meliputi usaha penyiapan lahan dan media tumbuh tanaman, pembenihan, penanaman, pemeliharaan atau perlindungan tanaman, dan pemanenan.

Adapun peluang usaha terkait penanganan pascapanen meliputi pembersihan komoditas, pengupasan atau perontokan, pengeringan, sortasi, grading, pengolahan, pengawetan, pengemasan, penyimpanan, standardisasi mutu, dan distribusi atau pemasaran hasil produksi.

Yang menarik dari draf peraturan menteri pertanian (permentan) itu karena di dalamnya selain mengatur perizinan usaha tanaman pangan dalam skala luas, yakni usaha tani pangan di atas lahan lebih dari 25 hektar, juga mengatur ”perizinan” untuk usaha tani pangan dengan luasan lahan kurang dari 25 hektar.

Dengan kata lain, petani kecil dengan kepemilikan lahan dan usaha tani kurang dari 0,5 hektar juga turut menjadi obyek kebijakan. Hanya saja, khusus untuk petani kecil, Kementerian Pertanian mewajibkan mereka untuk didaftar.

Tak kenal petani

Setelah pendaftaran dilakukan, oleh bupati/wali kota atau yang mewakilinya, para petani itu diberi semacam ”surat” yang oleh permentan disebut sebagai Tanda Daftar Usaha Proses Produksi atau Tanda Daftar Usaha Penanganan Pascapanen.

Draf permentan juga tidak mengenal istilah petani, apalagi petani kecil. Aturan itu hanya mengenal istilah pelaku usaha, baik bagi petani gurem maupun untuk petani skala luas. Lebih mengejutkan lagi ketika aturan baru itu dibuat, ternyata sama sekali tidak melibatkan petani selaku pemangku kepentingan.

Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan Winarno Tohir di Jakarta, Senin (19/4), menyatakan, biasanya pemerintah melibatkan petani sebagai pemangku kepentingan. Sebab, bagaimanapun, yang memiliki lahan dan yang mengusahakan lahan pertanian adalah petani, bukan pemerintah.

Pada draf permentan terungkap bahwa yang diajak membahas aturan baru ini selain pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, hanya 11 perusahaan nasional dan multinasional.

Mereka adalah PT Bangun Cipta Sarana, PT Digul Agro Lestari, PT Muting Jaya Lestari, PT Sumber Alam Sutera, PT Pertani (Persero), PT Sang Hyang Seri (Persero), Biogene PT Plantation, PT Monsanto Indonesia, PT DuPont Indonesia, PT Bayer Indonesia, dan PT Bisi Internasional Tbk.

Menurut Winarno, saat ini ada sekitar 25 juta rumah tangga petani terlibat dalam usaha budidaya tanaman pangan. Ini bukan jumlah yang kecil, mengapa pemerintah tidak mau mendengarkan suara petani?

Sekretaris Jenderal HKTI Rachmat Pambudy menyatakan belum mengetahui aturan itu. Begitu pula dengan Ketua Umum Wahana Masyarakat Tani Indonesia Agusdin Pulungan. ”Kami bahkan secara tegas menolak aturan itu,” katanya.

Guru Besar Ekonomi Industri Pertanian Universitas Gadjah Mada M Maksum mempertanyakan itu. Karena tidak melibatkan petani atau orang yang dekat dengan petani, aturan itu kehilangan sensitivitas. Bagaimana pengambilan keputusan tanpa melibatkan pemangku kepentingan di sektor pertanian.

Tidak satu kali

Menurut Winarno, tidak kali ini saja petani ditinggalkan pemerintah. Ketika menyusun kebijakan soal harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras 2008, petani juga tidak dilibatkan. Begitu pula dalam penyusunan HPP 2010 yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 7/2009 tentang Kebijakan Perberasan.

Dalam kebijakan HPP terbaru, ditetapkan HPP untuk gabah kering panen di tingkat petani Rp 2.640 per kilogram, sementara harga beras hanya Rp 5.060 per kilogram.

Proporsi kebijakan HPP yang kurang ideal itu mengakibatkan kebijakan HPP tidak bisa diimplementasikan di lapangan. Memang di atas kertas HPP gabah naik, tetapi faktanya gabah petani dihargai kurang dari besarnya HPP.

Tak hanya soal HPP dan permentan petani ditinggal. Ketika merumuskan kenaikan harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi muncul usulan dari petani agar sebaiknya kenaikan HET pupuk dilakukan setelah petani mengakhiri masa tanam musim gadu, tetapi pemerintah tetap pada keputusannya untuk menaikkan HET pupuk. Celakanya harga gabah petani jatuh juga.

Pengamat perberasan Husein Sawit menyatakan, kebijakan HPP dengan proporsi harga yang wajar akan merangsang tumbuhnya usaha pengeringan padi secara mekanis dan mendorong petani meningkatkan mutu gabah. Bulog pun akan bekerja lebih baik. Kalau pemerintah tidak menghargai petani, jangan salahkan petani kalau memilih jalan sendiri. Mereka akan menanam komoditas pangan sesuai kebutuhan masing-masing.

Oleh:
Oleh Hermas E Prabowo

sumber: Kompas

Post a Comment for "Pemerintah Tidak Lagi Mendengarkan Petani"

loading...
loading...