Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pancen Bener, Wong Mlarat Ora Kena Lara!

blogspot.com
Andaikan boleh memilih, tentunya mereka tak ingin terlahir menjadi warga kelas tiga yang serba kekurangan dan terbelenggu rantai kemiskinan. Kemiskinan telah membuat mereka menjadi miskin dalam segala hal, terutama kemiskinan dalam memperoleh hak mereka untuk hidup layak. Kemiskinan jua yang membuat mereka sulit mengakses yang menjadi hak mereka sebagai warga negara.

Ya, hak mereka sebagai warga negara yang harus dipenuhi oleh pengayom dalam hal ini negara, seperti yang tercantum pada UUD '45. Mereka berhak atas pengidupan yang layak, pendidikan, kesehatan dan layanan publik lainnya. Sepertinya soal hak warga negara merupakan tanggung jawab warga negara itu sendiri.

Seakan-akan pemerintah tidak merasa perlu bertanggung jawab terlalu besar terhadap kehidupan warga yang miskin, mereka hanya diposisikan sekedar proyek yang enak diselewengkan dan dikorupsi sesuka hati. Lihat saja begitu banyak warga miskin diberbagai daerah yang masih saja kesulitan mengakses fasilitas pelayanan kesehatan yang merupakan hak mereka sebagai warga negara. 

Contoh kasus yang menimpa seorang warga bernama Tri War’umi, warga Desa Kebondalem, Pemalang, yang meninggal pada saat akan melahirkan anak pertamanya terlambat untuk ditangani hanya gara-gara tidak memiliki kartu jamkesmas.

Setiap tahun pemerintah kabubaten (Pemkab) Pemalang mendapat alokasi anggaran jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) dan jaminan persalinan (Jampersal) dari APBN cukup besar. Tahun 2011 lalu saja Pemkab pemalang mendapat kan anggaran untuk jamkesmas sebesar Rp 6.720.080.000, dan untuk program jampersal disediakan anggaran sebesar Rp 4.700.449.000. 

Sumber: www.dinkesjatengprov.go.id
Bukti kurangnya sosialisasi dinas terkait akan pemanfaatan dana jaminan kesehatan terlihat dari hanya terpakai sebesar Rp 1,3 miliar dan sisanya masih ada sebesar Rp 3,4 miliar. Sedangkan dana Jampersal sebesar Rp 3,29 miliar juga terpakai hanya Rp 1,85 miliar. Sisa masih ada Rp 1,5 miliar. Juga termasuk dana Jamkesda, seperti yang diutarakan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Pemalang H Noor Rosyadi, seperti dilansir Radar Pemalang.

Niat baik dengan penyediaan anggaran yang begitu besar ternyata masih sulit diakses oleh warga miskin. Kesulitan warga miskin untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik ternyata masih jauh dari harapan dan pengakuan atas hak dasar sebagai warga negara.

Sebut saja pengalaman Kayat, seorang warga miskin yang tinggal di Desa Sima, Kec. Moga, Pemalang. Beberapa waktu yang lalu Kayat harus masuk ke berobat ke rumah sakit karena keluhan sakit ginjal dan komplikasi berbagai penyakit lainnya, karena sakitnya sudah parah, ia dirujuk oleh dokter untuk opname di Rumah Sakit Islam Moga. Tapi karena terbentur biaya ia tak bisa langsung mendapat perawatan RSI Moga. 

Kayat pun pulang dengan menahan rasa sakit yang tak terhingga. Setibanya di rumah, keluarga langsung berupaya dengan berbagai cara agar bisa segera dirawat di RS. Dengan bekal Jamkesda pinjaman tetangganya, Kayat dan keluarganya kembali mendatangi RSI Moga, namun apa daya pihak rumah sakit menolak dengan alasan tidak melayani Jamkesda dan hanya melayani anggota Jamkesmas. Padahal berdasarkan MoU yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kab. Pemalang pada 2010 terdapat nama RSI Moga sebagai salah penyelenggara layanan Jamkesda di pemalang.

Duh..., Kayat dan keluarganya langsung lemas, dalam benak mereka kemana lagi harus meminta pertolongan agar bisa langsung mendapat pelayanan medis mengingat kondisi kayat semakin parah. Akhirnya setitik harapan mulai tersingkap, berdasarkan masukan dari beberapa tetangga tentang informasi RS yang bisa melayani Jamkesda. Berangkatlah Kayat diantar keluarga menuju RSU Margono di Purwokerto, Banyumas yang berjarak kurang-lebih 3 jam menggunakan mobil sewaan.

Setelah di RSU Margono selama beberapa hari tidak dilakukan penanganan yang pasti, sampai pada hari ke-4 pihak keluarga mendapat kabar dari dokter bahwa sang pasien harus berpuasa karena harus dilakukan operasi pada penyakitnya.

Tunggu punya tunggu sampai hari ke-10, operasi yang dijanjikan pihak rumah sakit tak kunjung dilaksanakan, ini semakin membuat bingung Kayat dan pihak keluarganya.Mereka berpikir harus menunggu berapa lama lagi, karena persediaan biaya yang tak seberapa dan bahkan nyaris tiada.

Walaupun biaya perawatan ditanggung pemerintah, tapi untuk ongkos pulang-pergi rumah sakit ke rumah dan biaya hidup menemani di RS kan tidak sedikit. Jangankan buat ini itu untuk makan sehari-hari saja Kayat dan keluarganya harus banting tulang sedemikian rupa. Perlu diketahui, Kayat hanyalah petani miskin yang hanya mengandalkan penghasilan beberapa petak sawah dan pembagian keuntungan dari memelihara kambing milik tetangganya.

Dengan perasaan panik tak karuan dan dengan sangat terpaksa Kayat yang terbaring lemah dibawa pulang ke rumahnya karena setelah sekian lama di RS tidak ada kepastian penanganannya. Suasana gundah, sesak, campur-aduk di dalam dada istri dan keluarga Kayat, dalam perjalanannya pulang menuju rumah di Desa Sima, salah satu anggota keluarga berucap "Bener Pancen Ya, Wong Mlarat Ora Olih Lara" (Memang Bener ya, Orang Miskin Gak Boleh Sakit).

Beberapa hari setibanya di rumah, keluarga pun berembug dan berinisiatif membawa Kayat berobat ke pengobatan alternatif. Setelah dua minggu menjalani pengobatan, Kayat sudah mulai bisa beraktifitas ringan dan bisa kembali ke sawah dan mengurus ternak-ternaknya.

Pengalaman buruk Kayat tadi setidaknya masih menyisakan pertanyaan dibenak kita, kepada siapa kami mengadu dan menuntut hak kami sebagai warga negara yang katanya hak-hak kami dijamin oleh negara.
Lantas dimana keadilan dan kesejahteraan yang sering didengung-dengungkan para pemimpin kita. Wallahu a'lam bishawab. (Elf)

Post a Comment for "Pancen Bener, Wong Mlarat Ora Kena Lara!"

loading...
loading...