Mengembangkan Desa Mandiri
Suasana Pagi di Desa Sima by Elf/Ifz |
"BALI ndesa, mbangun desa”.Tafsir politik dari kalimat bernada iklan politik pasangan Bibit Waluyo-Rustriningsih tersebut barangkali tidak lagi menarik, sebab tujuan akhir iklan politik sebagai upaya memperoleh dukungan publik dalam Pilgub Jateng sudah tercapai.
Perolehan
suara 43,44 persen dari suara sah, yang merupakan legitimasi politik
dari warga Jateng yang diberikan kepada pasangan tersebut, tentu
bukanlah angka yang remeh. Walaupun tidak sepenuhnya keberhasilan
tersebut atas dasar kalimat politik yang diiklankan, namun tetap saja
harus diakui bahwa kalimat itu turut menyumbang persepsi publik terhadap
visi yang akan dibangun oleh Bibit-Rustri.
Menjadi
menarik sekaligus menantang, jika kemudian tafsir tersebut digeser ke
ranah kebijakan publik sebagai kalimat persuasi untuk mbangun desa,
tidak hanya bagi pemilik kalimat tersebut (Bibit-Rustri) namun juga bagi
segenap warga Jateng, khususnya stakeholder berkait dengan pembangunan
desa.
Hal
menarik lainnya adalah menyangkut urgensi mbangun desa bagi Jawa Tengah
yang sebagian besar merupakan wilayah pedesaan. Dari data yang ada,
secara adminstratif 7.807 atau 91,06 persen dari 8.573 desa/ kelurahan
yang ada di Jateng merupakan desa (BPS 2006). Sementara itu secara
geografis, dari hasil Sensus Ekonomi BPS 2006, sebanyak 6.613 desa/
kelurahan terletak di kawasan pedesaan, dan 2.401 desa/ kelurahan di
perkotaan.
Atas
data tersebut, sangat wajar jika kemajuan desa akan berbanding lurus
dengan kemajuan Jawa Tengah. Keberhasilan pembangunan desa memiliki
korelasi erat dengan keberhasilan pembangunan di Jawa Tengah.
Sayangnya,
fakta yang ada, 6,56 juta jiwa penduduk Jateng (2007) masih berada
dalam kategori miskin, dan sebagian besar berada di wilayah pedesaan.
Walaupun angka tersebut relatif ”lebih baik” jika dibandingkan dengan
tahun-tahun sebelumnya, 2003 (sebesar 6,98 juta), 2004 (6,84 juta), 2005
(6,53 juta) dan 2006 (7,10 juta jiwa).
Itu
berarti pembangunan yang telah dilakukan selama ini belum mampu secara
maksimal menyelesaiakan satu dari sekian tujuan pembangunan, yakni
pengentasan kemiskinan.
Kunci Pembangunan
Melemparkan
persoalan kepada pemerintah semata, tentu bukan pilihan arif dan
solutif terhadap pemecahan persoalan tersebut. Terlebih pada era otonomi
daerah (otda) ketika kewenangan secara politik dan adimistratif telah
dimiliki oleh pemerintah kabupaten/kota (pemkab/pemkot) dan pemerintah
desa sebagai daerah otonom.
Pada
level desa itulah kirannya kunci pembangunan Jawa Tengah menjadi
efektif. Tentu dengan tanpa melepaskan begitu saja tanggung jawab
pemerintah pada satu sisi, dan di sisi lain partisipasi desa menjadi
kunci utama proses tersebut.
Dengan
konsep itulah, desa mandiri mesti mulai dikembangkan, yakni desa yang
memiliki kemampuan untuk menjawab persoalan kebutuhan dasar warganya
(kesehatan, pangan, pendidikan, energi, dan sebagainya) dengan
memanfaatkan sumber daya setempat serta kearifan lokal di dalamnya
secara mandiri.
Dalam
konsep desa mandiri, pangan misalnya, berarti desa yang masyarakatnya
mempunyai kemampuan untuk mewujudkan ketahanan pangan melalui sistem on
farm hingga off farm yang dikembangkan. Desa mandiri sehat, itu berarti
suatu kemampuan desa dalam menyediakan, mengembangkan, dan merawat
fasilitas kesehatan. Menciptakan dan melaksanakan program kesehatan yang
menunjang peningkatan kualitas kesehatan warga, serta membangun budaya
hidup sehat itu sendiri. Begitu juga dalam desa mandiri energi,
pendidikan, wisata, dan lain sebagainya.
Desa
mandiri merupakan jawaban untuk memutus mata rantai kemiskinan yang
menjalar di desa. Melalui dimensi yang dikembangkan, semisal pangan,
kesehatan, dan energi, kualitas hidup masyarakat desa akan lebih
meningkat. Dalam konteks yang lebih luas, pengembangan desa mandiri
dapat dijadikan alternatif terhadap pemecahan isu-isu strategis Jawa
Tengah atas pelayanan sosial dasar, peningkatan sumber daya manusia
(SDM), dan tentu banyaknya penduduk miskin itu sendiri.
Proses
pemberdayaan ma-syarakat akan beriringan dalam pengembangan desa
mandiri. Ketidakberdayaan masyarakat pedesaan, selain disebabkan oleh
masalah ekonomi, juga akibat kurangnya akses masyarakat untuk memperoleh
pelayanan dasar dalam mengembangkan usaha ekonomi, penyediaan sarana
prasarana kesehatan dan pendidikan, serta informasi yang dibutuhkan guna
peningkatan kualitas hidupnya.
Mengembangkan desa menjadi desa mandiri memang tidaklah mudah; ada beberapa perangkat utama yang perlu dikembangkan dalam mendukung keberhasilan proses tersebut. Pertama, adanya partisipasi aktif dari warga yang
menjadi modal sosial (social capital). Kearifan lokal berupa semangat
gotong-royong yang mencerminkan kerbersamaan warga, menunjukkan rasa
handarbeni (rasa saling memiliki) terhadap tahapan proses yang dilalui
dalam mencapai kemandirian desa.
Partisipasi
masyarakat merupakan satu perangkat ampuh untuk memobilisasi sumber
daya lokal, mengorganisasi serta membuka tenaga, kearifan, dan
kreativitas masyarakat. Partisipasi masyarakat juga membantu upaya
identifikasi terhadap kebutuhan masyarakat, dan membantu mengatur
aktivitas pembangunan agar mampu memenuhi kebutuhan yang ada (Madekhan:
2007).
Dalam
konteks keberlanjutan dari tahapan desa mandiri, partisipasi masyarakat
begitu tampak dalam memelihara dan mengembangkan stimulan dari
pemerintah. Sebagai ilustrasi, pengembangan jamban keluarga dalam desa
mandiri sehat. Partisipasi warga begitu tampak dalam proses penambahan
jumlah jamban yang diberikan pemerintah melalui penyediaan tenaga,
pembelian jamban dengan model arisan, serta merawat jamban yang telah
diberikan melalui dana stimulan pemerintah.
Ubah Paradigma
Partisipasi
masyarakat dalam proses menuju desa mandiri, berarti mengubah paradigma
pembangunan desa yang selama ini memosisikan masyarakat selaku objek
saja dan kurang terlibat dalam perumusan masalah serta penyusunan
kebijakan menjadi bagian dari subjek yang memiliki peran dalam sisi
tersebut.
Partisipasi
juga memberikan pemahaman kepada masyarakat desa terhadap tujuan yang
hendak dicapai, sehingga memunculkan kesadaran terhadap pentingnya
program yang dilaksanakan. Dalam tataran lebih jauh, partisipasi
merupakan langkah awal guna mengubah budaya yang selama ini menjadi
bagian dari akar persoalan ketertinggalan desa.
Partisipasi
warga secara tidak langsung merupakan refleksi tingkat kepercayaan
(trust) dalam masyarakat. Meminjam terminologi Francis Fukuyama dalam
The Social Virtues And The Creation of Prosperity, tingkat kepercayaan
merupakan salah satu aspek penting dalam mendorong proses kemajuan
sebuah bangsa. Masyarakat dengan tingkat kepercayaan rendah (low trust
society) akan mengalami kelambanan dalam mencapai tingkat kemajuan
dibandingkan dengan high trust society.
Kedua, kepemimpinan dan inovasi perangkat desa,
yakni kepala desa, anggota badan permusyawaratan desa (BPD), serta
tokoh masyarakat di dalamnya. Kepemimpinan yang efektif akan mampu
menggerakkan partisipasi warga secara maksimal, tidak hanya dalam
tataran kepatuhan, namun lebih dari itu menimbulkan kesadaran warga
terhadap proses menuju desa mandiri. Di samping, tentunya, memaksimalkan
potensi sumber daya yang ada, baik sumber daya alam (SDA) maupun SDM.
Inovasi
diperlukan guna menciptakan program maupun mengembangkan program yang
telah terlaksana. Mengingat belum semua masyarakat desa mampu berkreasi
menciptakan inovasi, dibutuhkan perangkat desa sebagai pemicu sekaligus
motor inovasi tersebut.
Tidak
kalah penting peran perangkat desa sebagai mediator dalam mencari
sumber-sumber pendanaan pengembangan desa mandiri. Wadah seperti
musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) desa hingga tingkat
kabupaten, menjadi wadah yang efektif bagi upaya menyukseskan program
pengembangan desa mandiri, jika berhasil dikawal oleh perangkat desa
hingga terlaksana. Sebab, bagaimana pun pendanaan merupakan unsur
penting yang salah satunya bisa didapatkan dari APBD.
Ketiga, pembangunan dan pengembangan infrastuktur kelembagaan pendukung
sesuai dengan dimensi kemandirian yang hendak dicapai, semisal
koperasi, kelompok tani, lumbung desa, forum kesehatan, kader sehat
desa, dan kelompok sadar wisata.
Kelembagaan
tersebut berfungsi sebagai wadah perencanaan program, pengelola dan
pendistribusi informasi, pembangun kesadaran masyarakat desa,
peningkatan SDM, wadah curah pendapat dan pikir antarwarga, dan
pempelancar proses menuju desa mandiri.
Dalam
konteks desa mandiri ekonomi, misalnya, koperasi mampu berperan sebagai
penyedia modal, penyedia sarana prasarana pendukung usaha warga, dan
sebagai sakaguru ekonomi desa.
Forum
kesehatan desa dalam desa mandiri sehat, berperan sebagai wadah untuk
menyosialisasikan informasi ragam kesehatan terhadap kader kesehatan,
memberikan bimbingan kecakapan terhadap kader sehat, serta wadah rembuk
warga berkait dengan persoalan kesehatan desa yang perlu untuk
diantisipasi. Begitu juga lembaga-lemabaga lainnya dalam proses menuju
desa mandiri.
Tidak
ada salahnya jika mau belajar dari kisah sukses sejumlah desa yang
telah mampu berkembang menjadi desa mandiri di Jawa Tengah, setidaknya
untuk memberikan gambaran nyata strategi yang dipraktikkan.(68)
@ Wahid Abdulrahman (anggota Tim Research Desa Mandiri Ilmu Pemerintahan Undip & Assisten Pengajar pada Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Undip Semarang)
Post a Comment for "Mengembangkan Desa Mandiri"