Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menghidupkan Kembali Peradilan Desa


Masih ingat kasus AAL, sosok remaja berusia 15 tahun siswa SMK Negeri 3 Kota Palu, Sulawesi Tengah yang sempat mengundang pro dan kontra pada awal tahun 2012 lalu. AAL yang terancam hukuman 5 tahun penjara karena mencuri sandal jepit butut milik Briptu Anwar Rusdi Harahap, anggota Brimob Polda Sulteng. Beruntung, hakim tidak menjatuhkan hukuman penjara. AAL hanya dijatuhi hukuman dikembalikan kepada orangtuanya untuk dilakukan pembinaan.

Ada juga kasus kakek bernama Rawi (66), warga Dusun Sengkang, Desa Talle, Kecamatan Sinjai Selatan, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, terancam dihukum 5 tahun bui. Rawi didakwa di Jaksa Penuntut Umum (JPU) karena mencuri segenggam merica. 

Nah, agar kasus-kasus sepele seperti diatas tidak terulang dimasa datang, Kementerian Dalam Negeri mengusulkan gagasan menarik tentang peradilan tingkat desa atau nagari untuk menyelesaikan kasus ringan yang seharusnya tidak perlu dibawa ke ranah hukum. Gagasan itu termasuk dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Desa yang masih dibahas di DPR. Menurut Gamawan Fauzi (Mendagri-red) ”Gagasan tersebut diajukan untuk menjawab keluhan masyarakat adat yang mempersoalkan mengapa kasus-kasus kecil diselesaikan melalui hukum positif” . 

Gamawan tak setuju jika pelaku kasus-kasus sepele atau tindak pidana ringan dibawa ke pengadilan dengan menggunakan hukum positif. Sebab akan merusak tatanan sosial yang ada di masyarakat. Semestinya, Gamawan melanjutkan, penyelesaiannya cukup dilakukan di tingkat desa melalui peradilan desa. Jika persoalannya tidak bisa dituntaskan oleh peradilan desa, barulah diselesaikan melalui hukum positif. 

Menurut Kepala Pusat Penerangan Kemendagri yang juga anggota perumus RUU Desa, Reydonnyzar Moenek, gagasan itu sesuai dengan amanat konstitusi Pasal 18B ayat 2 UUD 1945. Dalam pasal ini disebutkan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.” 

Kelak, jika peradilan desa dapat direalisasikan, akan merujuk pada sistem adat istiadat yang dianut setiap desa. Peradilan ini pun akan lebih diarahkan ke media perdamaian antara pihak yang berperkara. Diakui Reydonnyzar, sistem peradilan desa seperti ini pernah diterapkan pada masa pemerintah Hindia Belanda, seperti sistem nagari di Minangkabau dan gampong di Aceh. 

”Kepala desa dengan pertimbangan sistem adat istiadat yang dianut akan memimpin peradilan desa, dan biarlah hal-hal kecil diselesaikan di tingkat desa,” ujar Reydonnyzar. Peradilan desa ini juga relevan dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2012, yang menyatakan bahwa kasus pidana di bawah Rp 2,5 juta tidak perlu disidangkan. 

Pakar hukum pidana, Indriyanto Seno Adjie. Ia mengatakan, gagasan peradilan desa itu punya tujuan baik. Hanya saja, perlu memperhatikan prosedur dan substansi peradilan itu sendiri. ”Semua harus jelas,” kata Indriyanto. Jika menilik sejarah, dulu peradilan adat menyidangkan hukum adat di desa-desa tertentu. Tetapi, dengan diberlakukannya UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951, peradilan adat dihapuskan. “Sejak itu, semua perkara dalam sistem peradilan desa, baik pidana maupun perdata, diserahkan ke pengadilan negeri,” ungkap guru besar hukum pidana.(ELF) 

Pasal-pasal Peradilan Desa 

Pasal 24 ayat 4 huruf (i) Dalam melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Kepala Desa mempunyai kewajiban: mendamaikan perselisihan masyarakat. 

Pasal 24 ayat 5 Kepala Desa juga melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban sebagai hakim perdamaian desa. Pasal 24 ayat 6 Keputusan Kepala Desa dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan kewajiban sebagai hakim perdamaian desa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bersifat final dan mengikat bagi pihak-pihak
terkait.
_____________________________________________________________________________ 

Kasus ‘wong cilik’ yang masuk ke pengadilan : 

1. Kasus Sandal AAL 
Pengadilan Negeri (PN) Palu menyatakan AAL (15) melakukan pencurian sandal milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap. AAL mendapat hukuman dikembalikan ke orang tua. Kejanggalan muncul karena Briptu Ahmad Rusdi menganiaya AAL untuk mengakui tindak pencurian. Saat dipersidangan, sandal yang dijadikan barang bukti ternyata bukan sandal yang dituduhkan Briptu Ahmad Rusdi dicuri AAL. Alhasil, keluarga AAL pun banding. Tekait penganiayaan tersebut, Polda Sulteng telah menghukum polisi penyaniaya AAL. Briptu Ahmad Rusdi dikenai sanksi tahanan 7 hari dan Briptu Simson J Sipayang dihukum 21 hari. Adapun Korps Brimob telah menghukum Briptu Ahmad Rusdi selama 21 hari penjara. 
  
2. Dugaan Pencurian Celana Dalam dan BH 
Samsu Alam (39), dituduh mencuri celana dalam dan BH mantan kekasihnya, Dede Juwitawati. Atas tuduhan itu, Samsu mendekam di Rutan Cipinang dan sedang menjalani proses pengadilan. Menurut pengacara Samsu, Hotma Sitompul, polisi dinilaii kurang kerjaan mengusut kasus tersebut. “Masa hilang celana dalam satu, BH satu, lapor polisi. Kurang kerjaan amat polisi mengurus beginian. Saya lihat secara umum, hukum kita jangan sampai rusak. Karena polisi membela oknum-oknum bobrok. Harusnya dikasih penataran dan dapat sanksi, jangan polisi membela oknum-oknum bobrok,” kata Hotma usai sidang. 

3. Dugaan Pencurian Segenggam Merica 
Seorang kakek yang sudang berkurang pendengaranya, Rawi (66), warga Dusun Sengkang, Desa Talle, Kecamatan Sinjai Selatan, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, terancam dihukum 5 tahun bui. Rawi didakwa di Jaksa Penuntut Umum (JPU) karena mencuri segenggam merica. “Kasus pencurian ini tetap akan dipidanakan dengan ancaman maksimal lima tahun penjara, selanjutnya terserah Majelis Hakim untuk menimbang kasus ini, ” ujar JPU Wanto Hariyanto. Saat ini sidang masih berlangsung di PN Sinjai, Sulawesi Selatan. 

4. Anak Yatim Dituduh Curi 8 Bunga 
Anak yatim piatu, FN (16) dituntut 2 bulan penjara oleh jaksa penuntut umum (JPU) dalam sidang Pengadilan Negeri (PN) Soe, Timor Tengah Selatan. Dia didakwa mencuri 8 bunga adenium milik orang tua angkatnya, Sonya Ully. FN sendiri telah merasakan dinginnya sel tahanan selama 40 hari. Dia dijebloskan di penjara sejak diadukan ke polisi 21 November 2011 silam. Penangguhan penahanan baru dikabulkan 8 Januari kemarin setelah ada desakan dari seluruh elemen masyarakat. Kasus masih berlangsung di PN Soe. 

5. Menendang Pagar Dipenjara 
Kisah duka Amar bermula pada 11 Juli 2011 saat dia lewat di depan rumah Fenly M Tumbuun di Jl Kayu Manis VI, Matraman, Jakarta Timur. Anjing milik Fenly menyalak, membuat Amar terkesiap dan refleks menendang pintu pagar Fenly. Fenly tak terima dengan sikap Amar sehingga terjadi cekcok. Pukulan benda tumpul mengenai Amar. Amar yang kemudian buta akibat pukulan itu, melapor ke polisi dengan tuduhan penganiayaan. Fenly dijatuhi vonis 2,5 tahun penjara oleh PN Jaktim. Fenly yang merasa tidak terima lalu mengadukan balik Amar ke polisi dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan. Amar ditahan di Rutan Cipinang sejak pelimpahan berkas tahap II pada 7 Desember lalu. 

6. Anak Kecil Jambret Rp 1.000 
PN Denpasar memvonis bocah DW (15) bersalah menjambret Rp 1.000. Namun, ia tak menjalani hukuman penjara melainkan dikembalikan ke orang tuanya. Dengan putusan tersebut, DW tak akan menjalani hukuman penjara pasca putusan tersebut. Putusan hakim ini lebih ringan dari tuntutan JPU Ni Wayan Erawati Susina selama tujuh bulan penjara. Usai dibebaskan dari hukuman penjara, DW akan kembali melanjutkan sekolah yang sempat terbengkalai karena kasus tersebut. 
(Dari Berbagai Sumber)

Post a Comment for " Menghidupkan Kembali Peradilan Desa"

loading...
loading...