Prospek BUMDes Sebagai Lokomotif Ekonomi Desa
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai lembaga ekonomi desa lahir ketika negeri ini memasuki era reformasi. Hadirnya lembaga ini bersamaan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Di mana disebutkan, desa dapat memiliki badan usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Diketahui, keberadaan desa-desa di Indonesia, kini bukan lagi sebagai unsur pelaksana daerah, tetapi sudah menjadi kesatuan masyarakat hukum, di mana dengan undang-undang tersebut, telah memberikan keleluasaan bagi desa-desa di Indonesia untuk mengatur kehidupan masyarakatnya dengan semangat desentrali-sasi.
Dalam hal lembaga ekonomi desa, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 melakukan perubahan mendasar, seperti yang dinyatakan pada Pasal 213 ayat (1) bahwa desa dapat mendirikan badan usaha milik desa se-suai dengan kebutuhan dan potensi desa. Dapat dimaknai bahwa badan usaha yang didirikan di desa merupakan milik bersama antara pemerintah desa dan masyarakat (bersifat komunal), bukan dimiliki oleh orang perorangan atau pribadi. BUMDes lebih mencerminkan unsur kebersamaan dalam menjalankan usaha, karena lebih sesuai untuk kehidupan masyarakat di pedesaan yang umumnya memiliki kultur, gotong royong, persaudaraan, rasa sosial yang tinggi, dan tidak sekedar memuja kehidupan kebendaan (materialism). Oleh karenanya, BUMDes sebagai lembaga ekonomi desa, dapat diartikan sebagai lembaga ekonomi alternatif untuk meningkatkan kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat perdesaan.
Idealnya, tujuan BUMDes didirikan di wilayah desa adalah untuk mencari keuntung-an (profit oriented). Sekalipun demikian, badan usaha ini berbeda dengan lembaga bisnis pada umumnya, seperti: Perseroan Terbatas (PT), Perbankan, ataupun Koperasi, karena memiliki karakteristik khusus yakni, dimiliki oleh desa dan dikelola bersama masyarakat (desa). Ciri ini yang menjadi faktor pembeda utama dengan lembaga bisnis lain yang dimiliki oleh perorangan, kelompok, pemerintah daerah.
Selain itu, meskipun BUMDes beroperasi untuk memperoleh keuntungan (profit), secara ideal dalam menjalankan usahanya diwarnai oleh budaya lokal, yaitu falsafah bisnis yang berakar dari budaya lokal (local wisdom), seperti member base dan self help, dengan tujuan untuk menghindari timbulnya kapitalisasi di perdesaan yang dikawatirkan dapat mengikis nilai-nilai (values) yang selama ini dihormati dan menjadi pedoman perilaku dalam bermasyarakat. BUMDes Sesuai Kebutuhan
Pendirian BUMDes sebagai suatu usaha yang mencari keuntungan, harus didasarkan pada kebutuhan obyektif di lapangan. Artinya, inisiasi pendirian BUMDes bisa dari siapapun. Namun, apakah BUMDes perlu didirikan di suatu desa, harus didasarkan pada potensi usaha yang prospektif di desa tersebut.
Makna potensi adalah terdapat permintaan dari produk (barang atau jasa) yang akan ditawarkan melalui BUMDes. Pendekatan pasar atau melihat dari sisi permintaan lebih disarankan dari pada menciptakan pasar baru atau melihat dari sisi penawaran karena risikonya sangat besar.
Dimaklumi bahwa BUMDes merupakan lembaga ekonomi tergolong baru yang kemungkinan akan dijalankan dan dikelola oleh orang-orang yang masih minim pengalaman (less sense of business) dalam menjalankan usaha yang berorientasi mencari keuntung-an. Oleh karena itu, informasi pasar perlu dicari dan disepakati terlebih dahulu sebelum BUMDes didirikan. Dengan demikian, jawaban kapan BUMDes didirikan adalah tergantung dari akurasi informasi pasar yang menunjukkan adanya peluang usaha dalam melayani kebutuhan masyarakat terhadap barang atau jasa. Jika memang belum ditemukan peluang usaha yang dapat dijalankan BUMDes, maka pendiriannya perlu dipertanyakan. Melalui cara seperti itu, BUMDes diharapkan akan mampu beroperasi secara mandiri dan kinerjanya dapat dipertanggungjawabkan.
Sebagai suatu badan usaha yang mencari keuntungan atas dasar orientasi pasar, perlu diciptakan permintaan yang memungkinkan dapat dikelola BUMDes. Ini merupakan peluang (opportunity). Namun harus tetap memperhatikan sumberdaya yang dimiliki, seperti permodalan, tenaga kerja, peralatan mesin, dan ketersediaan bahan baku. Secara umum BUMDes dapat mengelola usaha antara lain di bidang pertanian, perikanan, peternakan, perdagangan, dan jasa (persewaan, transportasi, keuangan). Singkatnya, jenis usaha yang dapat dijalankan BUMDes adalah didasarkan pada permintaan pasar dengan mempertimbangkan sumberdaya yang dimiliki.
Namum, sistem pengelolaan BUMDes tidak seharusnya mengadopsi begitu saja gaya manajemen bisnis di perkotaan yang cenderung hanya mengejar maksimalisasi keuntungan dan meminimalkan biaya (costs). Sebab praktek bisnis seperti itu seringkali mengabaikan nilai-nilai lokal demi pencapaian target penjualan. Karena itu, wujud yang tampak paling dominan dari BUMDes adalah dimiliki desa dan dikelola oleh masyarakat desa bersama tradisi dan budaya lokalnya. Untuk menjadikan pengelolaan BUMDes terwarnai tradisi dan budaya lokal diperlukan “ke-sepakatan bersama” banyak pihak untuk mencari titik temu dari berbagai kepentingan yang ada selanjutnya dikemas menjadi satu nilai bersama (shared values). Hal ini menjadi sangat penting, karena kontribusi mereka akan mengikat secara psikologis terhadap ke-sepakatan-kesepakatan yang dibuat kemudian.
Istilah budaya lokal atau apapun namanya intinya adalah gambaran perilaku masyarakat yang berakar dari budaya setempat yang merupakan ke khasan dari gaya hidup masyarakat desa yang dapat dilihat, diketahui dan diterima bersama di kalangan mereka sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Suatu falsafah bisnis yang berakar dari budaya lokal adalah mengekspresikan prinsip dasar organisasi (core principles of organization) yang memberikan kepada pengelola dan semua anggota pedoman yang jelas bagaimana seharusnya bersikap dan berperilaku dalam kaitannya dengan usaha yang dijalankan. Dengan demikian, budaya lokal yang mewarnai pengelolaan BUMDes akan bervariasi antara desa satu dengan yang lain, terutama desa-desa di luar Pulau Jawa. Menurut hemat penulis, keragaman itu justru akan menggambarkan kebhinnekaan dari kekayaan budaya bangsa Indonesia yang diterima bersama sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat.
Pernyataan falsafah bisnis menunjukkan bagian yang penting dan permanen dari organisasi. Setiap organisasi kemungkinan akan menggunakan cara yang berbeda bagaimana mensosialisasikan falsafah tersebut. Tidak ada satu metode yang dipandang terbaik yang terpenting falsafah yang disepakati difahami dan dijadikan sebagai pedoman dalam bersikap dan berperilaku.
Bentuk dari falsafah bisnis biasanya adalah kata-kata yang sederhana ( a few simpel words), namun memiliki arti penting bagi pelaku-pelaku maupun anggota organisasi. Kata-kata itu akan secara efektif menjadi landasan (cornerstone) dari suatu bangunan di mana orang-orang bekerja dan memperoleh pelayanan. Kata-kata itu akan menjelaskan kepada setiap orang apa yang diperlukan berkenaan dengan sikap dan perilakunya dalam menjalankan organisasi dan berhubungan dengannya agar kelangsungan hidupnya terjamin dan berkembang secara signifikan.
Tulisan ini disarikan dari makalah Prof.Dr.Maryunani, SE, MS, dengan judul: Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Sebagai lembaga ekonomi Desa yang masih perlu Langkah Panjang.
Idealnya, tujuan BUMDes didirikan di wilayah desa adalah untuk mencari keuntung-an (profit oriented). Sekalipun demikian, badan usaha ini berbeda dengan lembaga bisnis pada umumnya, seperti: Perseroan Terbatas (PT), Perbankan, ataupun Koperasi, karena memiliki karakteristik khusus yakni, dimiliki oleh desa dan dikelola bersama masyarakat (desa). Ciri ini yang menjadi faktor pembeda utama dengan lembaga bisnis lain yang dimiliki oleh perorangan, kelompok, pemerintah daerah.
Selain itu, meskipun BUMDes beroperasi untuk memperoleh keuntungan (profit), secara ideal dalam menjalankan usahanya diwarnai oleh budaya lokal, yaitu falsafah bisnis yang berakar dari budaya lokal (local wisdom), seperti member base dan self help, dengan tujuan untuk menghindari timbulnya kapitalisasi di perdesaan yang dikawatirkan dapat mengikis nilai-nilai (values) yang selama ini dihormati dan menjadi pedoman perilaku dalam bermasyarakat. BUMDes Sesuai Kebutuhan
Pendirian BUMDes sebagai suatu usaha yang mencari keuntungan, harus didasarkan pada kebutuhan obyektif di lapangan. Artinya, inisiasi pendirian BUMDes bisa dari siapapun. Namun, apakah BUMDes perlu didirikan di suatu desa, harus didasarkan pada potensi usaha yang prospektif di desa tersebut.
Makna potensi adalah terdapat permintaan dari produk (barang atau jasa) yang akan ditawarkan melalui BUMDes. Pendekatan pasar atau melihat dari sisi permintaan lebih disarankan dari pada menciptakan pasar baru atau melihat dari sisi penawaran karena risikonya sangat besar.
Dimaklumi bahwa BUMDes merupakan lembaga ekonomi tergolong baru yang kemungkinan akan dijalankan dan dikelola oleh orang-orang yang masih minim pengalaman (less sense of business) dalam menjalankan usaha yang berorientasi mencari keuntung-an. Oleh karena itu, informasi pasar perlu dicari dan disepakati terlebih dahulu sebelum BUMDes didirikan. Dengan demikian, jawaban kapan BUMDes didirikan adalah tergantung dari akurasi informasi pasar yang menunjukkan adanya peluang usaha dalam melayani kebutuhan masyarakat terhadap barang atau jasa. Jika memang belum ditemukan peluang usaha yang dapat dijalankan BUMDes, maka pendiriannya perlu dipertanyakan. Melalui cara seperti itu, BUMDes diharapkan akan mampu beroperasi secara mandiri dan kinerjanya dapat dipertanggungjawabkan.
Sebagai suatu badan usaha yang mencari keuntungan atas dasar orientasi pasar, perlu diciptakan permintaan yang memungkinkan dapat dikelola BUMDes. Ini merupakan peluang (opportunity). Namun harus tetap memperhatikan sumberdaya yang dimiliki, seperti permodalan, tenaga kerja, peralatan mesin, dan ketersediaan bahan baku. Secara umum BUMDes dapat mengelola usaha antara lain di bidang pertanian, perikanan, peternakan, perdagangan, dan jasa (persewaan, transportasi, keuangan). Singkatnya, jenis usaha yang dapat dijalankan BUMDes adalah didasarkan pada permintaan pasar dengan mempertimbangkan sumberdaya yang dimiliki.
Namum, sistem pengelolaan BUMDes tidak seharusnya mengadopsi begitu saja gaya manajemen bisnis di perkotaan yang cenderung hanya mengejar maksimalisasi keuntungan dan meminimalkan biaya (costs). Sebab praktek bisnis seperti itu seringkali mengabaikan nilai-nilai lokal demi pencapaian target penjualan. Karena itu, wujud yang tampak paling dominan dari BUMDes adalah dimiliki desa dan dikelola oleh masyarakat desa bersama tradisi dan budaya lokalnya. Untuk menjadikan pengelolaan BUMDes terwarnai tradisi dan budaya lokal diperlukan “ke-sepakatan bersama” banyak pihak untuk mencari titik temu dari berbagai kepentingan yang ada selanjutnya dikemas menjadi satu nilai bersama (shared values). Hal ini menjadi sangat penting, karena kontribusi mereka akan mengikat secara psikologis terhadap ke-sepakatan-kesepakatan yang dibuat kemudian.
Istilah budaya lokal atau apapun namanya intinya adalah gambaran perilaku masyarakat yang berakar dari budaya setempat yang merupakan ke khasan dari gaya hidup masyarakat desa yang dapat dilihat, diketahui dan diterima bersama di kalangan mereka sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Suatu falsafah bisnis yang berakar dari budaya lokal adalah mengekspresikan prinsip dasar organisasi (core principles of organization) yang memberikan kepada pengelola dan semua anggota pedoman yang jelas bagaimana seharusnya bersikap dan berperilaku dalam kaitannya dengan usaha yang dijalankan. Dengan demikian, budaya lokal yang mewarnai pengelolaan BUMDes akan bervariasi antara desa satu dengan yang lain, terutama desa-desa di luar Pulau Jawa. Menurut hemat penulis, keragaman itu justru akan menggambarkan kebhinnekaan dari kekayaan budaya bangsa Indonesia yang diterima bersama sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat.
Pernyataan falsafah bisnis menunjukkan bagian yang penting dan permanen dari organisasi. Setiap organisasi kemungkinan akan menggunakan cara yang berbeda bagaimana mensosialisasikan falsafah tersebut. Tidak ada satu metode yang dipandang terbaik yang terpenting falsafah yang disepakati difahami dan dijadikan sebagai pedoman dalam bersikap dan berperilaku.
Bentuk dari falsafah bisnis biasanya adalah kata-kata yang sederhana ( a few simpel words), namun memiliki arti penting bagi pelaku-pelaku maupun anggota organisasi. Kata-kata itu akan secara efektif menjadi landasan (cornerstone) dari suatu bangunan di mana orang-orang bekerja dan memperoleh pelayanan. Kata-kata itu akan menjelaskan kepada setiap orang apa yang diperlukan berkenaan dengan sikap dan perilakunya dalam menjalankan organisasi dan berhubungan dengannya agar kelangsungan hidupnya terjamin dan berkembang secara signifikan.
Tulisan ini disarikan dari makalah Prof.Dr.Maryunani, SE, MS, dengan judul: Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Sebagai lembaga ekonomi Desa yang masih perlu Langkah Panjang.
Post a Comment for "Prospek BUMDes Sebagai Lokomotif Ekonomi Desa"